Apakah Petinggi Badan Gizi Nasional Harus Ahli Gizi?
Belum lama ini, susunan pejabat Badan Gizi Nasional (BGN) dirilis ke publik. Sejumlah nama muncul, mulai dari Kepala, Wakil Kepala, Deputi, hingga staf ahli. Namun, hal yang menjadi sorotan adalah latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka yang sebagian besar bukan berasal dari bidang gizi. Ada yang dari militer, kepolisian, birokrasi, hingga pertanian, namun hampir tidak ada yang memiliki keahlian spesifik dalam ilmu gizi.
Lalu, pertanyaan pun muncul: apakah mereka layak menjadi petinggi di lembaga yang fokus pada urusan gizi nasional, sementara mereka bukan ahli gizi?
Kenapa Latar Belakang Ahli Gizi Itu Penting
Gizi adalah bidang yang kompleks. Ia bukan sekadar urusan makanan sehat, tetapi menyangkut kebutuhan mikronutrien, pertumbuhan anak, pola makan masyarakat, hingga kaitannya dengan penyakit kronis.
Seorang pemimpin yang memiliki dasar keilmuan gizi akan lebih mudah memahami:
-
Bagaimana merancang kebijakan penanggulangan stunting.
-
Menentukan program edukasi gizi yang efektif di sekolah dan masyarakat.
-
Memahami hubungan erat antara pangan, budaya makan, dan kondisi ekonomi rakyat.
Tanpa pemahaman ini, kebijakan bisa jadi terlalu normatif, administratif, atau bahkan tidak menyentuh akar masalah di lapangan.
Argumen Kenapa Non-Ahli Gizi Bisa Memimpin
Namun, kepemimpinan sebuah lembaga tidak melulu soal keahlian teknis. Ada juga faktor lain yang sama pentingnya:
-
Kemampuan manajerial – mengatur anggaran, SDM, dan koordinasi antar kementerian.
-
Jaringan politik & birokrasi – kemampuan menjalin kerja sama dengan kementerian lain, pemerintah daerah, hingga mitra internasional.
-
Kapasitas organisasi – memastikan program berjalan efektif meskipun dikerjakan oleh tim teknis.
Dalam konteks ini, pejabat non-ahli gizi masih bisa bekerja dengan baik jika mereka melibatkan tim teknis yang kuat, berisi para profesional gizi, peneliti, dan akademisi yang ahli di bidangnya.
Risiko Jika Tidak Ada Ahli Gizi di Level Pimpinan
Meski demikian, ada risiko yang perlu dicermati:
-
Kurangnya sensitivitas teknis – misalnya salah menentukan prioritas program.
-
Kebijakan tidak tepat sasaran – bisa terjadi jika keputusan diambil hanya berdasarkan logika birokrasi, bukan bukti ilmiah gizi.
-
Kepercayaan publik menurun – masyarakat bisa meragukan kredibilitas lembaga jika tidak ada figur yang benar-benar ahli di bidang gizi.
Jadi, Haruskah Semua Petinggi BGN Ahli Gizi?
Idealnya, paling tidak ada beberapa pejabat inti yang benar-benar berlatar belakang gizi atau kesehatan masyarakat. Hal ini penting agar kebijakan yang dibuat tidak sekadar administratif, tetapi juga berbasis keilmuan.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kepemimpinan membutuhkan kemampuan manajerial dan jaringan lintas sektor. Kombinasi keduanya – ahli gizi di posisi strategis teknis dan pemimpin dengan kemampuan manajerial kuat – bisa menjadi solusi terbaik untuk menghadapi masalah gizi nasional yang sangat kompleks.
Penutup
Apakah pejabat BGN saat ini layak memimpin meski bukan ahli gizi? Jawabannya: layak dari sisi kepemimpinan dan birokrasi, tetapi kurang ideal dari sisi teknis. Keberhasilan mereka akan sangat ditentukan oleh sejauh mana mereka membuka ruang bagi para profesional gizi untuk berperan aktif dalam setiap kebijakan.
Karena pada akhirnya, gizi bukan hanya soal data dan anggaran. Ia menyangkut masa depan bangsa, generasi yang tumbuh sehat, dan kualitas manusia Indonesia.
Posting Komentar untuk "Apakah Petinggi Badan Gizi Nasional Harus Ahli Gizi?"